A. Belajar
Oemar Hamalik (2009) mengemukakan
bahwa belajar adalah suatu proses perubahan
tingkah laku individu melalui interaksi dengan lingkungan. Dimyati & Mudjiono
berpendapat bahwa belajar
adalah kegiatan individu memperoleh pengetahuan, perilaku dan keterampilan
dengan cara mengolah bahan belajar. Berdasarkan kamus Bahasa
Indonesia (2008: 23) ditemukan bahwa belajar adalah berusaha mengetahui sesuatu
atau berusaha memperoleh ilmu pengetahuan. Jadi belajar adalah suatu kegiatan individu yang
berusaha mengetahui sesuatu atau berusaha memperoleh ilmu pengetahuan dapat
berupa pengetahuan, perilaku dan
keterampilan dengan cara mengolah bahan belajar atau interaksi dengan lingkungan.
Berikut adalah faktor-faktor
belajar menurut Oemar Hamalik (2009: 32) sebagai berikut.
1.
Faktor kegiatan, penggunaan dan ulangan.
2.
Faktor belajar memerlukan latihan.
3.
Belajar siswa akan berhasil jika siswa merasa
berhasil dn mendapatkan kepuasannya.
4.
Siswa yang belajar perlu mengetahui apakah ia
berhasil atau gagal dalam belajarnya
5.
Faktor asosiasi besar manfaatnya dalam belajar.
6.
Pengalaman masa lampau (bahan apersepsi) dan
pengertian-pengertian yang dimiliki oleh siswa
7.
Besar peranannya dalam proses belajar
8.
Faktor kesiapan belajar
9.
Faktor minat dan usaha
10.
Faktor-faktor fisiologis dan faktor
intelegensi.
Sri Anitah (2007: 2.6)
mengemukakan ada empat pilar yang perlu diperhatikan dalam belajar yakni learning to know, learning to do, learning
to live together, dan learning to be.
1.
Learning
to know artinya belajar untuk mengetahui. Adapun yang menjadi target dalam
belajar adalah adanya proses pemahaman sehingga belajar tersebut dapat
mengantarkan siswa untuk mengetahui dan memahami substansi materi yang
dipelajarinya. Belajar itu sendiri harus digambarkan sebagai suatu peristiwa
yang dapat merangsang rasa ingin tahu siswa sehingga siswa harus merasa bahwa
belajar itu sebagai suatu proses yang berkelanjutan.
2.
Learning
to do artinya belajar untuk berbuat. Adapun yang menjadi target dalam
belajar adalah adanya proses melakukan atau proses berbuat. Dalam hal ini siswa
harus mengerjakan, menerapkan, menyelesaikan persoalan, melakukan eksperimen,
penyelidikan, penemuan, pengamatan, simulasi, dan sejenisnya.
3.
Learning
to live together artinya belajar untuk hidup bersama. Adapun
yang menjadi target dalam belajar adalah siswa memiliki kemampuan untuk hidup
bersama atau mampu hidup dalam kelompok. Dalam hal ini siswa harus dibekali
pengalaman-pengalaman dibekali tanggung jawab dalam kelompok, memahami pendapat
orang lain, menerapkan sikap toleransi, memahami asas dalam kelompok, serta
memahami dan merasakan kesulitan orang lain.
4.
Learning
to be artinya belajar untuk menjadi dirinya sendiri. Dengan kata lain,
Wina Sanjaya (2009: 111) mengatakan belajar untuk mengaktualisasikan dirinya
sendiri sebagai individu dengan kepribadian yang memiliki tanggung jawab
sebagai manusia. Adapun yang menjadi target dalam belajar adalah mengantarkan
siswa menjadi individu yang utuh sesuai dengan potensi, bakat, minat, dan
kemampuannya. Hasil belajar diperoleh benar-benar bermakna dalam kehidupannya
maupun bagi kehidupan orang lain, sehingga dapat mengantarkan siswa menjadi
manusia yang mandiri yang mampu mengenal, mengarahkan dan merencanakan dirinya
sendiri. Semua itu harus dapat diterapkan pada proses belajar di sekolah.
B. Gaya Belajar
Berdasarkan Kamus Umum
Bahasa Indonesia (1984: 302), gaya berarti ragam (cara, rupa, bentuk , dan
sebagainya). Sedangkan belajar adalah suatu kegiatan individu yang
berusaha mengetahui sesuatu atau berusaha memperoleh ilmu pengetahuan dapat
berupa pengetahuan, perilaku dan
keterampilan dengan cara mengolah bahan belajar atau interaksi dengan lingkungan. Jadi
gaya belajar adalah ragam (cara, rupa, bentuk , dan sebagainya) yang digunakan
dalam suatu kegiatan individu yang
berusaha mengetahui sesuatu atau berusaha memperoleh ilmu pengetahuan dapat
berupa pengetahuan, perilaku dan
keterampilan dengan cara mengolah bahan belajar atau interaksi dengan lingkungan.
Meminjam konsep Neuro
Linguistic Programming (NLP)/Neuro Associative Conditioning (NAC) yang
dipopulerkan Robbins (Andrias Harefa: 2003: 63) sedikitnya ada tiga gaya
belajar yakni sebagai berikut.
1. Gaya
visual
2. Gaya
Auditori
3. Gaya
kinestetik
Dapat
dijelaskan sebagai berikut.
1. Gaya
visual yakni pembelajar yang dapat belajar secara lebih efektif jika mempergunakan
penglihatan fisiknya. Misalnya dengan membaca, mengamati, menonton video/film,
dan segala cara yang melibatkan indra penglihatannya.
2. Gaya
Auditori yakni pembelajar yang lebih cepat belajar dengan cara berbicara dan
mendengarkan (termasuk membaca dengan bersuara keras), atau berdialog dengan
orang lain (termasuk wawancara),dan cara lain yang intinya melibatkan telinga
secara aktif.
3. Gaya
kinestetik yakni pembelajar yang belajar dengan cara menggerakkan tubuhnya, mengalami
secara langsung, aktif secara fisik, terjun ke lapangan, mencicipi dan
merasakan, dan sebagainya.
Andreas Harefa (2003 : 64) yang senada dengan Dave Meier yang memodifikasi gaya belajar model NLP/NAC
dengan menambahkan gaya belajar ke empat, yaitu :
4. Gaya
belajar intelektual, yakni belajar dengan berpikir dan membayangkan,
menciptakan model mental, merenung, dan sebagainya.
Menurut Honey dan Mumford (Andrias Harefa, 2003: 65)
menawarkan empat gaya belajar ,yakni :
1. Gaya
belajar aktivis yang ditandai dengan keterbukaan pikiran dan antusiame yang
tinggi.
2. Gaya
belajar pragmatis yang mengutamakan pemecahan masalah secara “membumi”.
3. Gaya
belajar teoritis yang mengutamakan logika dan analisis.
4. Gaya
belajar reflektif yaitu suka memerhatikan, menyimak, dan mengamati untuk
direnung-renungkan.
C. Pendekatan Belajar
Secara harfiah, istilah pendekatan menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (1980) pendekatan berarti proses, perbuatan, cara mendekati.
Pendekatan belajar berarti proses, perbuatan, cara mendekati dalam
suatu kegiatan individu yang
berusaha mengetahui sesuatu atau berusaha memperoleh ilmu pengetahuan dapat
berupa pengetahuan, perilaku dan
keterampilan dengan cara mengolah bahan belajar atau interaksi dengan lingkungan. Menurut SmarterKids (Andrias Harefa, 2003: 66)
mengidentifikasi tujuh pendekatan belajar
yaitu :
1. Pendekatan
dengan sentuhan fisik
2. Pendekatan
intrapersonal
3. Pendekatan
interpersonal
4. Pendekatan
bahasa
5. Pendekatan
matematis
6. Pendekatan
musik
7. Pendekatan
visual
Dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Pendekatan
dengan sentuhan fisik
Pada
intinya gaya belajar model ini sangat mengandalkan gerak tubuh. Orang atau
anak-anak yang suka bermain sambil belajar, menggerakkan anggota tubuhnya,
tidak bisa duduk diam adalah mereka memiliki gaya belajar ini. Kelak mereka
mungkin lebih baik memilih karier yang dalam praktiknya memerlukan gerak tubuh
seperti penari, olahragawan/wati, dan dunia seni rupa dan sebagainya.
2. Pendekatan
intrapersonal
Orang
atau anak-anak yang memiliki kecenderungan belajar intrapersonal umumnya lebih
suka menyendiri, meski mereka tidak anti sosial. Mereka bisa berhubungan dengan
orang lain, hanya saja dalam soal belajar mereka cenderung lebih suka
menyendiri. Mereka cenderung memecahkan persoalan secara mandiri, tanpa
melibatkan orang lain.
3. Pendekatan
interpersonal
Orang
atau anak-anak yang suka berkelompok, memecahkan masalah temannya bersama-sama
adalah mereka yang belajar dengan cara ini. Pendekatan belajarnya adalah
kooperatif. Kelak anak-anak yang senang belajar dengan cara interpersonal ini
dimungkinkan untuk berhasil dalam karier sebagai konsultan, pengajar, politisi,
pelatih, pengelola bisnis, dan entertainer.
4. Pendekatan
Bahasa
Orang
atau anak-anak yang sangat menyukai kegiatan membaca buku dan menulis
menunjukkan cara belajar ini. Dongeng, cerita, penjelasan verbal sangat mereka
sukai. Kelak mereka mungkin akan sangat berhasil dalam karier sebagai jurnalis,
penyunting, dosen, atau penulis naskah.
5. Pendekatan
Matematis
Orang
atau anak-anak yang menyukai segala sesuatu yang memerlukan perhitungan, angka,
garis, dan logika, adalah mereka yang belajar dengan cara ini.
6. Pendekatan
Musik
Orang
atau anak-anak yang belajar dengan cara ini menunjukkan respon spontan bila
mendengarkan suara musik atau nyanyian.Mereka menyukai suasana riang.
7. Pendekatan
Visual
Orang
atau anak-anak yang belajar dengan cara ini menyukai tampilan dalam bentuk
gambar, tontonan, yang tampak secara visual.
D.
Kecerdasan
1. Pengertian
Kecerdasan
Menurut
Encyclopedia Britannica (Andrias harefa, 2003 : 73) mengatakan “kecerdasan
adalah kualitas bawaan sejak lahir, sebagai hal yang berbeda dari kemampuan
yang diperoleh melalui pengalaman individual”. Sternberg (Carole Wide &
Carol Tavris, 2007: 32) mendefinisikan intelegensi sebagai kemampuan dan
pengetahuan yang dibutuhkan untuk mencapai keberhasilan dalam hidup,
berdasarkan definisi keberhasilan yang dimiliki seseorang dalam kaitannya
dengan konteks sosio-budaya pada lingkungan orang tersebut berada. Berdasarkan Kamus
Umum Bahasa Indonesia (1984: 201) didapatkan kecerdasan adalah kesempurnaan
perkembangan akal budi (seperti kepandaian, ketajaman pikiran, dan sebagainya).
Jadi dapat disimpulkan bahwa kecerdasan adalah kesempurnaan perkembangan akal budi
sebagai kualitas bawaan sejak lahir dan menjadi hal yang berbeda dari kemampuan
yang diperoleh melalui pengalaman individual untuk mencapai keberhasilan dalam
hidup, berdasarkan definisi keberhasilan yang dimiliki seseorang dalam
kaitannya dengan konteks sosio-budaya pada lingkungan orang tersebut berada.
2. Aspek
kecerdasan
Menurut
P. E. Vermon (Rochman Natawidjaja & H. A. Moein Moesa, 1992), makna dasar
konsep intelegensi mengandung tiga aspek penting yaitu.
a. Intelegensi
sebagai kapasitas genetik yakni intelegensi sebagai aspek yang diwariskan
secara utuh, dibawa sejak lahir (hereditas).
b. Intelegensi
sebagai perilaku yakni intelegensi sebagai perilaku yang dapat dilihat, dites,
atau diobservasi terhadap apa yang dilakukan individu.
c. Intelegensi
sebagai skor tes yakni intelegensi adalah apa yang terukur oleh tes.
3. Jenis
kecerdasan
a. Teori
Triarki Intelegensi
Salah
satu teori kognitif yang terkenal adalah teori triarki inteligensi yang diperkenalkan
oleh Robert Sternberg pada tahun 1988 (triarki berarti tiga bagian). Sternberg
(Carole Wade & Carol Tavris, 2007: 32) mendefinisikan inteligensi sebagai kemampuan
dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk rnencapai keberhasilan dalam hidup,
berdasarkan definisi keberhasilan yang dimiliki seseorang dalam kaitannya dengan
konteks sosio-budaya pada llngkungan orang tersebut berada. Menurut Sternberg
(Carole Wade & Carol Tavris, 2007: 32), inteligensi terdiri dari tiga
aspek, yakni inteligensi komponensial, inteligensi kreatif, dan lnteligensi
praktis.
1)
Inteligensi komponensial
Inteligensi
komponensial merujuk pada strategi pemrosesan-informasi yang kita miliki saat
kita menggunakan lnteligensi kita untuk memikirkan suatu permasalahan. Komponen-komponen
mental ini meliputi mengenali dan mendefinisikan masalah, memilih strategi pemecahan
masalah, menguasai dan mengaplikasikan strategi serta mengevaluasi hasil. Komponen-komponen
tersebut digunakan dalam berbagai jenis budaya, hanya saja diaplikasikan pada
jenis masalah yang berbeda-beda. Suatu budaya mungkin berfokus pada penggunaan komponen-komponen
tersebut untuk memecahkan masalah abstrak, sedangkan budaya lainnya akan
menggunakan komponen-komponen yang sama untuk memelihara suatu hubungan persahabatan
atau kekeluargaan yang baik.
Beberapa
penggunaan komponen lnteligensi tidak saja mensyaratkan kemampuan analitis.namun
juga kemampuan metakognisi, yakni pengetahuan atau kesadaran terhadap proses
kognitif yang kita mlliki serta kemampuan untuk memonitor dan mengontrol proses
kognitif tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa metakognisi adalah pengetahuan
atau kesadaran mengenai proses kognisi pada diri seseorang. Kemampuan metakognitif
rnembantu kita untuk belajar. Siswa yang memiliki kemampuan metakognitif yang
lemah gagal menyadari keberadaan kalimat yang sulit pada diktat, dan mereka
tidak selalu menyadari bahwa mereka belum mengerti makna dari suatu bacaan. Nelson
& Leonesio (Carole Wade & Carol Tavris, 2007: 32) berpandangan bahwa hal
tersebut mengakibatkan siswa menghabiskan waktu terlalu sedikit pada materi
yang sulit dan menghabiskan waktu terlalu banyak pada materi yang telah mereka
pahami. Sebaliknya, Bereiter & Bird (Carole Wade & Carol Tavris, 2007:
32) mengungkapkan bahwa siswa yang memiliki kemampuan metakognitif yang baik
akan mengevaluasi pemahaman mereka dengan membaca ulang bacaan yang telah diselesaikan,
menelusuri ulang apabila diperlukan dan mempertanyakan apabila ada hal-hal yang
belum mereka pahami akibatnya mereka belajar dengan lebih baik.
Hal
ini juga berlaku pada arah sebaliknya. jenis inteligensi yang dapat
meningkatkan kinerja akademik kita juga dapat membantu kita mengembangkan
kernampuan metakognitif. Dunning dkk (Carole Wade & Carol Tavris, 2007: 32)
berpendapat bahwa siswa dengan kinerja akademik yang rendah biasanya tidak
menyadari bahwa mereka memiliki jumlah pemahaman yang sedikit, mereka justru
berpikir sudah memiliki pemahaman yang cukup. Kelemahan yang sama, yang
menghalangi mereka meraih hasil baik dalam tes, juga menghalangi mereka dalam
menyadari kelemahan mereka. Dalarn sebuah studi, siswa sebuah kelas psikologl
memperkirakan nilai ujian mereka dibandingkan nilai rekan-rekan mereka. siswa-siswa
yang berada di kuartil terendah melebih-lebihkan kinerja mereka (Dunning dkk
dalam Carole Wade & Carol Tavris, 2007: 32). Sebaliknya, siswa yang
memiliki kinerja akademik yang baik umumnya akan bersikap realistis, bahkan
sering kali mereka merendahkan kinerja mereka sendiri dibandingkan kinerja
siswa-siswa lainnya.
2)
Inteligensi kreatif atau experiential intelligence
Inteligensi
kreatif atau inteligensi experiental merujuk
pada kreativitas kita dalam menggunakan kemampuan yang telah kita miliki dalam
situasi yang baru. Mereka yang memiliki experiential
intelligence mampu beradaptasi dengan situasi-situasi yang baru dan mampu membuat
tugas-tugas berjalan secara otomatis. Orang-orang yang tidak memiliki experiential intelligence akan
berkinerja baik hanya apabila mereka berada dalam situasi yang tidak menuntut
dinamika yang tinggi. Sebagai contoh, seorang mahasiswa yang memiliki prestasi
akademik yang baik belum tentu berhasil dalam pekerjaannya setelah lulus,
karena saat sekolah tenggat waktu untuk tugas-tugas ditentukan oleh sekolah. sedangkan
saat bekerja siswa tersebut harus menentukan sendiri tenggat waktu untuk
pekerjaan-pekerjaannya. Selain itu, siswa tersebut tidak langsung menerima masukan
untuk pekerjaan yang telah diselesaikan. Hal ini berbeda dengan saat sekolah,
dimana siswa tersebut langsung menerima masukan untuk tugas-tugas yang telah
diselesaikan.
3)
Inteligensi kontekstual atau inteligensi
praktis
Inteligensi
kontekstual atau inteligensi praktis merujuk pada penerapan praktis dari
inteligensi, yang mensyaratkan kita memahami konteks situasi yang berbeda-beda.
lnteligensi kontekstual yang baik meningkatkan kemampuan adaptasi kita terhadap
lingkungan (anda berada di daerah yang rawan kriminalitas sehingga anda bersikap
lebih siaga). lnteligensi kontekstual membantu kita menyadari kapan kita harus
mengubah lingkungan (anda merencanakan untuk menjadi guru, namun kemudian rnenyadari bahwa anda tidak menyukai
bekerja bersama anak kecil sehingga anda memutuskan menjadi akuntan). Selain itu,
intelegensi kontekstual membantu kita memperbaiki situasi (kehidupan pernikahan
anda tidak berjalan dengan baik sehingga anda dan pasangan anda memutuskan
untuk menjalani konseling pernikahan).
Inteligensi
kontekstual membantu kita memiliki pengetahuan turunan (tacit knowledge), suatu strategi yang bersifat praktis dan berorientasi
pada tindakan untuk mencapai suatu tujuan, yang tidak diajarkan dalam pendidikan
formal atau diajarkan secara verbal, dan diperoleh melalui observasi terhadap
orang lain. Menurut Sternberg (Carole Wade & Carol Tavris, 2007: 32)
mengemukakan bahwa penelitian yang dilakukan pada beberapa professor, manajer
perusahaan, dan orang-orang dari divisi pemasaran membuktikan bahwa pengetahuan
turunan dan inteligensi praktis merupakan salah satu alat yang dapat
memprediksi dengan akurat efektivitas saat bekerja. Pada mahasiswa, pengetahuan
turunan mengenai bagaimana menjadi mahasiswa yang baik memiliki tingkat akurasi
yang sama dengan ujian masuk universitas dalam memprediksikan keberhasilan
akademik seseorang mahasiswa (Sternberg & Wagner dalam Carole Wade &
Carol Tavris, 2007: 32).
b.
Kecerdasan Majemuk (multiple intelligence)
Sekitar
tahun 70-an hingga pertengahan tahun 80-an, Howard Gardner dan tim peneliti
dari Universitas Harvard mempopulerkan apa yang disebut multiple intelligence
atau kecerdasan majemuk. Dalam Frames of
mind (1983), Gardner Mengidentifikasi tujuh jenis kecerdasan. Kemudian
dalam buku Intelligence Reframed (1999)
ia menambahkan jenis kecerdasan ke delapan mencakup (Andrias harefa, 2003: 76).
1)
Kecerdasan Verbal-Linguistik
Menurut Lucy Lidiawati Santioso (2010: 70 ) kecerdasan
verbal-linguistik merupakan kecerdasan dalam menggunakan bahasa atau kata-kata
secara efektif, baik secara lisan maupun tulisan. Kecerdasan verbal-linguistik
terutama berhubungan dengan bahasa, aktivitas membaca dan menulis. Kita
menyaksikan jenis kecerdasan ini pada penulis, penyair, dramawan, ahli
pidato,dan sebagainya.
Untuk
rnerangsang kecerdasan berbahasa verbal, Andi Yudha Asfandiyar (2009: 42)
menyarankan sebaiknya kita sebagai orang tua atau guru sebagai berikut.
a) sering
mengajak anak bercakap-cakap.
b) sering
membacakan cerita/dongeng.
c) sering
mengajarkan nyanyian/Iagu.
Pandai berbahasa bukan nanya berarti menguasai
banyak bahasa, melainkan si anak mempunyai kemampuan dalam mengolah bahasa. HaI
ini penting untuk mengajarkan bahasa ibu terlebih dahulu karena hal itu akan
rnendorong logika berpikir si anak. Tidak semua anak cerdas dalam berbahasa.
Seandainya anak belum siap menerima multibahasa, kita jangan memberikannya
dahulu. Bila guru dan orangtua menjejal anak dengan beragam bahasa, hasilnya
anak akan mengalami kebingungan berbahasa. Ingat! Stimulus dari Iingkungannya
akan memengaruhi kemampuan otak si anak dan pada akhirnya akan bermuara pada
keterampilan anak dalam mengolah kata-kata dan berbicara. Biasanya, kurangnya
kemampuan berbahasa pada anak terjadi apabila sejak kecil anak kurang diajak
berkomunikasi.
2)
Kecerdasan Matematis-Logis
Menurut
Lucy Lidiawati Santioso (2010: 75) kecerdasan matematis-logis merupakan kecerdasan
dalam menggunakan angka-angka dan penalaran (logika). Kecerdasan matematis-logis
diasosiasikan dengan kemampuan berpikir ilmiah, logis, dan runtut, sebagaimana
didemonstrasikan antara lain oleh mereka yang menekuni profesi sebagai ilmuwan,
akuntan, banker, ahli hokum, ahli matematika, dan sebagainya.
Beberapa
cara untuk membantu anak mengembangkan kecerdasan matematika, antara Iain:
a) Perbanyak
koleksi buku-buku referensi mengenai konsep matematika
b) Buat
permainan seru dengan melibatkan murid-murid dalam Iomba-lomba, seperti
berhitung dan permainan asyik Iainnya.
c) Manfaatkan
berbagai benda yang ada di sekitar kita sebagai media pengajaran. Misalnya,
saat mengajarkan bangun ruang atau datar dan Iingkaran, mintalah anak untuk
mengamati pola dari beberapa bendera negara dari buku-buku, bentuk atap rumah,
dan sebagainya.
3) Kecerdasan
Visual-Spasial
Menurut
Lucy Lidiawati Santioso (2010: 79) kecerdasan visual-spasial merupakan kecerdasan
dalam berpikir baik secara dua dimensi maupun tiga dimensi. Beberapa hal yang
dapat dilakukan untuk mengembangkan kecerdasan ini pada anak yakni kenalkan
arah, bemain puzzle dan balok, belajar bentuk, dan belajar mengamati suatu
gambar secara detail yang ditanyakan secara detail pula, dan sebagainya.
4)
Kecerdasan Kinestetik-Jasmani
Menurut
Lucy Lidiawati Santioso (2010: 88) kecerdasan kinestetik-jasmani merupakan
menggunakan tubuh atau bergerak dengan ketepatan (presisi), bergerak untuk
mengekspresikan ide-ide, dan perasaan emosi tertentu, serta kemampuan untuk
menggunakan keterampilan tubuh. Kecerdasan kinestetik meliputi kemampuan
menari, pantomime, olahraga, menggunakan bahasa tubuh, bermain peran, dan
menggunakan tangan untuk menciptakan atau membangun sesuatu.
Menurut
Andi Yudha Asfandiyar (2009: 46) ada tiga pusat kemampuan kognitif dalam
kecerdasan kinestetik/gerak yang merupakan komponen penting dari gerak tubuh,
yakni.
a) Logika
motorik merupakan kemampuan saraf otot untuk bergerak.
b) Memori
kinestetik merupakan kemampuan anak mengatur batas dari gerakan melalui
kontruksi otot, gerakan, dan posisi dalam ruang.
c) Kesadaran
kinestetik merupakan kemampuan indra gerak anak untuk mengikuti perintah dan
petunjuk.
Beberapa kegiatan yang bisa dilakukan untuk rnengembangkan
potensi anak yang bergolong cerdas gerak, antara Iain:
a) Menyediakan
ruang yang cukup luas agar anak bisa menyentuh apa pun yang meraka lihat. Ajak
anak ke tempat-tempat yang memicu eksplorasinya dalam menyentuh.
b) Memberikan
anak ruang yang cukup untuk bergerak sehingga anak cerdas gerak belajar
berinteraksi dengan ruang di sekitarnya.
c) Minta
anak untuk berpartisipasi dalam aktivitas yang berorientasi pada gerakan
seperti pementasan drama dan menari dalam kegiatan sekolah, senam, baIet, dan
olahraga. beberapa aktivitas menawarkan anak belajar melalui interaksi spasial
dan gerakan tubuh yang bermanfaat untuk membangun kepercayaan dirinya.
d) Melakukan
beberapa kegiatan yang menunjang kemampuan gerak motorik anak seperti
memasukkan manik-manik ke benang, menggunting kertas, dan kegiatan kerajinan
tangan Iainnya.
e) Bermain
petak umpet, kucing-kucingan, Iornpat tali, dan sebagainya.
5) Kecerdasan
Musikal-Ritmik
Menurut
Lucy Lidiawati Santioso (2010: 84) kecerdasan musikal-ritmik adalah kemampuan
untuk menikmati, mengamati, membedakan, mengarang, membentuk, dan
mengekspresikan bentuk-bentuk musik. Kecerdasan ini meliputi kepekaan terhadap
ritme, melodi, dan ritme dari musik yang didengar. Tipe kecerdasan ini
berkembang sangat baik pada musisi, penyanyi dan komposer. Andi Yudha
Asfandiyar (2009: 55) mengatakan musik tidak hanya berkaitan dengan
perkembangan kognitif, tapi juga mengembangkan kecakapan sikap, tingkah laku ,
dan disiplin anak.
Beberapa
kegiatan yang bisa dilakukan untuk menggali kecerdasan musik anak antara lain.
a) Kenalkan
anak lewat berbagai jenis alat music meskipun hanya lewat gambar.
b) Menyediakan
alat-alat sederhana misalnya gitar, pianika, suling, dan lain sebagainya.
c) Mengajarkan
not balok lewat lagu-lagu sederhana.
d) Untuk
melatih kepekaan nada, anak juga dapat diperdengarkan lagu-lagu dengan irama
yang berbeda saat dia makan, menggambar, bermain dan dalam melakukan aktivitas
lainnya.
e) Anak-anak
cenderung menyukai lagu-lagu yang riang. Bernyanyi bisa dikombinasikan dengan
kegiatan bermain lainnya seperti permainan ular naga panjangnya.
f) Ajak
anak untuk menampilkan kebolehan mereka dalam acara-acara misalnya acara
sekolah.
6) Kecerdasan
Intrapersonal
Menurut
Lucy Lidiawati Santioso (2010: 100) kecerdasan intrapersonal merupakan kecerdasan
dalam mengerti dan memahami diri sendiri. Kecerdasan ini meliputi kemampuan
untuk mereflesikan dan menganalisis diri, mengenal baik kekuatan maupun
kelemahan yang dimiliki, menyadari perasaan, harapan, keinginan, dan tujuan
yang hendak dicapai, serta mampu untuk memahami peran dirinya dalam berhubungan
dengan orang lain.
7)
Kecerdasan Interpersonal
Menurut
Lucy Lidiawati Santioso (2010: 97) kecerdasan interpersonal adalah suatu
kemampuan untuk masuk ke dalam diri orang lain, mengerti dunia orang lain,
mengerti pandangan, sikap, kepribadian, dan karakter orang lain. Termasuk di
dalamnya adalah kepekaan terhadap ekspresi-ekspresi wajah, suara, dan sosok
postur (gesture) dan kemampuan untuk membedakan berbagai tanda interpersonal. Inti
dari kecerdasan ini adalah kemampuan untuk memahami dan berinteraksi dengan
orang lain sehingga mudah bersosialisasi dengan lingkungan di sekelilingnya. Arif
Rohman (2009: 140) mengatakan kecerdasan semacam ini juga sering disebut
sebagai kecerdasan sosial (social
Intelligence). Menurut Andi Yudha Asfandiyar (2009: 46) ada beberapa
komponen yang bisa diterapkan dalam kegiatan keseharian yang bisa membantu anak
mengembangkan kemampuan interpersonalnya antara lain.
a) Komunikasi
dengan anak.
b) Mengenalkan
anak pada etika, nilai dan kebiasaan yang berlaku pada masyarakatnya,
c) Ajarkan
anak untuk memiliki rasa kasih sayang pada sesamanya.
d) Ajari
anak untuk tidak bersikap pelit/berbagi dengan kerelaan.
e) Kenalilah
anak untuk mengenali barang miliknya dan barang milik orang lain.
f) Ajari
anak untuk peduli/perhatian pada sesamanya.
g) Ajari
anak untuk merasakan perasaan orang lain.
h) Ajari
anak untuk memilih/melakukan pemilihan sesuatu yang benar-benar dia sukai
secara asertif (tegas), bukan karena pengaruh atau tekanan dari orang lain
namun mampu mengubah pilihan tersebut jika menyalahi faedah.
i)
Ajarkan kepada anak bahwa kehidupan
tidak terlepas dari tanggung jawab dan komitmen.
j)
Ajarkan anak bagaimana mengatasi masalah
yang dihadapinya.
8) Kecerdasan
Naturalis
Menurut
Lucy Lidiawati Santioso (2010: 93) kecerdasan naturalis merupakan kecerdasan
dalam memahami alam yang meliputi kemampuan untuk mengidentifikasi dan
mengklasifikasi perbedaan maupun persamaan ciri-ciri diantara spesies, baik
flora maupun fauna. Andi Yudha Asfandiyar (2009: 68) mengemukakan beberapa cara
yang bisa dipakai untuk mengembangkan kecerdasan naturalis anak antara lain:
a) Mengajak
anak untuk menanam dan merawat sendiri
tanaman mereka.
b) Ajak
anak untuk memelihara, memberi makan dan memerhatikan pertumbuhan hewan piaraan.
c) Sekali-kali
ajak anak ke kebun binatang atau pertanian, museum, planetarium, dan wahana
rekreasi edukatif lainnya.
c. Kecerdasan
Emosional/emotional intelligence
Istilah
kecerdasan emosional pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog
Peter Salovey dari Harvard University dan John Meyer dari University Of New
Hampshire. Salovey dan Meyer (Aunurrahman, 2011: 87) mendefinisikan kecerdasan
emosional sebagai himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan
kemampuan memantau perasaan dan emosi baik pada diri sendiri maupun orang lain,
memilah-milah semuanya, dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran
dan tindakan. Menurut Goleman (Herra Lestari Mikarsa, 2008: 3.49) emotional intelligence/kecerdasan
emosional sebagai kapasitas untuk mengenal perasaan kita sendiri dan orang
lain, untuk memotivasi diri kita, dan untuk mengatur emosi dalam diri kita dan
dalam hubungan kita dengan orang lain. Jadi dapat disimpulkan bahwa kecerdasan
emosional adalah himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan
kemampuan memantau perasaan dan emosi sebagai kapasitas untuk mengenal perasaan
kita sendiri dan orang lain, untuk memotivasi diri kita, dan untuk mengatur
emosi dalam diri kita dan dalam hubungan kita dengan orang lain. Daniel Goleman
(Howard S. Friedman & Miriam W. Schustack, 2006: 268) mengemukakan bahwa
intelegensi emosional terdiri dari lima komponen yakni.
1. Mampu
menyadari diri sendiri.
2. Mampu
mengontrol amarah dan kecemasan.
3. Tekun
dan optimis dalam menghadapi hambatan.
4. Mampu
berempati.
5. Mampu
berinteraksi dengan baik dengan orang lain.
Aunurrahman
(2011: 85) mengemukakan beberapa bentuk kualitas emosional yang dinilai penting
bagi keberhasilan yaitu.
1. Empati.
2. Mengungkapkan
dan memahami perasaan.
3. Mengendalikan
amarah.
4. Kemandirian.
5. Kemampuan
menyesuaikan diri.
6. Disukai.
7. Kemampuan
memecahkan masalah pribadi.
8. Ketekunan.
9. Kesetiakawanan.
10. Keramahan.
11. Sikap
hormat.
d. Kecerdasan
Eksistensial
Howard
(Yatim Riyanto, 2009) berpendapat bahwa kecerdasan eksistensial adalah
kecerdasan yang berhubungan dengan kapasitas dan kemampuan. Kecerdasan ini
masih dalam masa penelitian.
e. Kecerdasan
Mengatasi Kemalangan/Adversity Questient
Kecerdasan
mengatasi kemalangan/Adversity Questient
atau AQ adalah kecerdasan mengubah hambatan menjadi peluang (menurut Paul G.
Stoltz dalam Andrias Harefa, 2003: 83). Dalam bukunya adversity Quotient, Paul
G. Stoltz (2000: 9) mengungkapkan tiga bentuk adversity quotient yakni sebagai
berikut.
1. Adversity
quotient atau kecerdasan mengubah hambatan menjadi peluang adalah suatu
kerangka konnseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua segi
kesuksesan.
2. Adversity
quotient atau kecerdasan mengubah hambatan menjadi peluang adalah ukuran untuk
mengetahui respon terhadap kesulitan.
3. Adversity
quotient atau kecerdasan mengubah hambatan menjadi peluang adalah serangkaian
peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respon terhadap
kesulitan, yang akan berakibat memperbaiki efektivitas pribadi dan professional
secara keseluruhan.
f. Kecerdasan
Spritual
Pada
dasarnya sejak lahir manusia memiliki naluri ketuhanan, yaitu naluri adanya
kekuasaan transendental di luar dirinya yang diyakininya bisa memberikan
kekuatan, ketenangan, semangat, bahkan rezeki dan hukuman. Zohar dan Marshall (Andrias
Harefa, 2003: 85) menegaskan bahwa
kecerdasan Spritual adalah kecerdasan yang berada jauh di dalam kita, di dalam
jiwa kita, yang terhubung dengan kearifan, melampaui pikiran sadar, suatu kecerdasan
yang tidak saja membuat kita mampu mengenali nilai-nilai yang sudah ada (existing values), tetapi juga memampukan
kita untuk menemukan nilai-nilai baru secara kreatif. Kenalkan tuhan pada
anak-anak sedini mungkin agar dia memiliki kekayaan sense of moral yang penting untuk menjaga kesehatan mental
sepanjang hidupnya.
Selain
kecerdasan akademis (IQ), kecerdasan transendental/spiritual (SQ) juga mutlak
diperlukan dalam tumbuh kembang seorang anak. Pendidikan SQ dapat menumbuh
suburkan self awareness dalam diri
anak. Pengembangan SQ pada anak bermanfaat untuk melihat kembali dalam diri
anak itu, apakah sudah ada perubahan menjadi lebih baik, mencari
hambatan-hambatan dalam diri sendiri sebagai cara mencari jalan keluar, serta
belajar komitmen dan disiplin.
Menggali
kecerdasan spiritual pada anak, sekaligus mendekatkan anak pada tuhan bisa
dimulai antara lain dengan cara.
1) Mengajarkan
doa-doa sehari-hari.
2) Mengajarkan
kepada anak untuk berdoa sebelum melakukan sesuatu dan bersyukur pada akhirnya
melakukan sesuatu tersebut.
3) Mengajarkan
tata cara ibadah sehari-hari.
4) Mengajarkan
adab sopan santun terhadap orang lain baik yang lebih tua, sebaya maupun yang
lebih muda.
E. Hubungan gaya belajar, pendekatan
belajar, dan kecerdasan dengan hasil belajar yang diharapkan
Pada hakekatnya, setiap manusia memiliki kecerdasan
yang berbeda-beda, gaya belajar yang berbeda-beda, pendekatan yang berbeda-beda
dan lain sebagainya. Perbedaan ini terkadang menimbulkan perbedaan kemampuan
dalam menjalani kehidupan. Perbedaan ini memunculkan tingkat keberhasilan
melawan ketidakberhasilan, bisa melawan tidak bisa, mampu melawan tidak mampu,
dan lain-lain di kehidupan ini, tidak terkecuali dalam hal belajar.
Antara gaya belajar, pendekatan belajar, dan
kecerdasan seseorang memiliki keterhubungan yang erat. Dalam hal proses belajar,
antara gaya belajar, pendekatan belajar, dan kecerdasan seseorang haruslah
terkondisikan sesuai dengan karakteristik orang tersebut dalam belajar. Karena
jika tidak, hasil belajar yang diharapkan menjadi tidak optimal dan maksimal. Sebagai
contoh, seseorang yang memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi dan ia
memiliki gaya belajar kinestetik yang proses belajarnya dikondisikan dengan
pendekatan belajar audio, tentu tidak akan sama hasil belajarnya dengan hasil
belajar pada seseorang yang memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi dan ia
memiliki gaya belajar kinestetik proses belajarnya dikondisikan menggunakan
pendekatan dengan sentuhan fisik oleh orang tua/guru pengajarnya. Contoh lainnya
seseorang yang kecerdasannya kurang namun dikondisikan dengan gaya belajar dan
pendekatan belajar yang sesuai dirinya, dapat saja lebih baik daripada
seseorang yang memiliki kecerdasan tinggi namun terkondisikan dengan gaya
belajar dan/atau pendekatan belajar yang tidak sesuai dengan gaya belajar
dan/atau pendekatan belajar pada seseorang tersebut.
Agar perkembangan seseorang menjadi lebih optimal
dalam hasil belajarnya maka hal-hal yang dimiliki berkenaan dengan
individu/seseorang tersebut perlu dioptimalkan dengan cara yakni.
1. Melaksanakan
proses belajar yang diarahkan sesuai dengan bakat dan minat anak.
2. Menggunakan
berbagai strategi, pendekatan, metode dan teknik, dan media pembelajaran dengan
seefektif dan seefisien mungkin.
Lucy Lidiawati Santioso (2010: 35) mengungkapkan beberapa
hal yang perlu dilakukan orang tua dan guru untuk mengembangkan bakat dan minat
anak yaitu :
1. Sejak
usia dini, cermati berbagai kelebihan, keterampilan, dan kemampuan yang tampak menonjol
pada anak.
2. Bantu
anak dalam meyakini dan fokus pada kelebihan dirinya.
3. Kembangkan
konsep diri positif pada anak.
4. Perkaya
anak dengan berbagai wawasan, pengetahuan, serta pengalaman di berbagai bidang.
5. Usahakan
berbagai cara untuk meningkatkan minat anak untuk belajar dan menekuni
bidang-bidang yang menjadi kelebihannya.
6. Tingkatkan
motivasi anak untuk mengembangkan dan melatih kemampuannya.
7. Stimulasi
anak untuk meluaskan kemampuannya dari satu bakat ke bakat yang lain.
8. Berikan
penghargaan dan pujian untuk setiap usaha yang dilakukan anak.
9. Sediakan
fasilitas atau sarana untuk mengembangkan bakat anak.
10. Dukung
anak untuk mengatasi berbagai kesulitan dan hambatan dalam mengembangkan
bakatnya.
11. Jalin
hubungan baik antara orang tua dan guru dengan anak.
Dengan berusaha menggali dan mengembangkan kemampuan
masing-masing pada anak dengan juga mempertimbangkan gaya dan pendekatan
belajar serta karakteristik yang bervariasi di dalam proses belajar, setidaknya
kita telah membantu diri mereka untuk memilih jalan menuju kesuksesan masing-masing.
Namun ingat, jangan memaksakan mereka untuk melakukan apa yang tidak mereka
sukai. Kita hanya memfasilitasi agar kemampuan/potensi mereka bisa terakomodasi
dengan baik sehingga mereka mampu menjelma menjadi generasi-generasi unggul
sesuai dengan harapan/tujuan pendidikan nasional tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Asfandiyar,
Andi Yudha. 2009. Kenapa Harus Guru
Kreatif. Bandung: PT Mizan Pustaka.
Carole
Wade & Carol Tavris. 2007. Psikologi. Jakarta: Erlangga.
Depdikbud.
1980. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Dimyati & Mudjiono. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT
Rineka Cipta.
Friedman,
Howard S & Schustack, Miriam W. 2006. Kepribadian.
Jakarta: Erlangga
Hamalik, Oemar. 2009. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.
Harefa,
Andrias. 2003. Mengasah Paradigma
Pembelajar. (Cetakan ke-2). Yogyakarta: Gradien.
Lestari
Mikarsa, Hera, dkk. 2008. Pendidikan Anak
di SD. (Cetakan ke-11). Jakarta: Universitas Terbuka.
Lidiawati
Santioso, Lucy. 2010. Mendidik Sesuai
Dengan Minat & Bakat Anak. (Cetakan ke-2). Jakarta: PT Tangga Pustaka.
Natawidjaja, Rochman & Moesa, H. A. Moein.
1992. Psikologi Pendidikan. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Poerwadarminta,
W. J. S. 1984. Kamus Umum Bahasa
Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Riyanto, Yatim. 2009. Paradigma Baru Pembelajaran. Jakarta: Prenada Media Group.
Rohman,
Arif. 2009. Memahami Pendidikan &
Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: LaksBang Mediatama.
Stoltz,
Paul G. 2000. Adversity Quotient Mengubah
Hambatan Menjadi Peluang. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Tim
Redaksi Kamus Bahasa Indonesia. 2008. Kamus
Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
W,
Sri Anitah, dkk. 2007. Strategi
Pembelajaran. Jakarta: Universitas Terbuka Departemen Pendidikan nasional.
dapat di download di http://www.4shared.com/file/18Df7dLm/Gaya_Belajar.html
dapat di download di http://www.4shared.com/file/18Df7dLm/Gaya_Belajar.html
artikelnya bagus..mudah di pahami...btw...klo mo melakukan penelitian gaya belajar baiknya dengan metode survei apa experiman ya?? terus untuk penghitungan datanya pake regresi aja bisa ga sih??
ReplyDeleteklw mnrt pemahaman sy untuk sampai saat ini, semua tergantung kamu ingin mengembangkan penelitian ke arah mana. apakh kamu kembangkan ke penelitian kuantitatif atau ke penelitian kualitatif. karna nantinya kamu juga yang mengembangkan instrumen dari gaya belajar itu sendiri berdasarkan dimensi atau indikator yang kamu miliki berdasarkan teori para ahli (boleh jg km kembangkan sendiri). instrumen ini diperlukan untuk penelitian kamu. klw untuk saran sih, jika kamu memiliki sumber yg cukup, mngkn akan lbh baik dan menguntungkn, kamu melakukan penelitian dengan metode survei. selanjutnya untuk analisis data, tergantung dari jumlah dan keterkaitan variabel penelitian kamu (hubungan atau perbedaan) serta tergantung pada bentuk penelitian kamu. . . .
Delete