Thursday, July 19, 2012

BELAJAR, GAYA BELAJAR, PENDEKATAN BELAJAR, KECERDASAN, SERTA HUBUNGAN GAYA BELAJAR, PENDEKATAN BELAJAR, DAN KECERDASAN DENGAN HASIL BELAJAR YANG DIHARAPKAN

A.    Belajar
Oemar Hamalik (2009) mengemukakan bahwa belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku individu melalui interaksi dengan lingkungan. Dimyati & Mudjiono berpendapat bahwa belajar adalah kegiatan individu memperoleh pengetahuan, perilaku dan keterampilan dengan cara mengolah bahan belajar. Berdasarkan kamus Bahasa Indonesia (2008: 23) ditemukan bahwa belajar adalah berusaha mengetahui sesuatu atau berusaha memperoleh ilmu pengetahuan. Jadi belajar adalah suatu kegiatan individu yang berusaha mengetahui sesuatu atau berusaha memperoleh ilmu pengetahuan dapat berupa pengetahuan, perilaku dan keterampilan dengan cara mengolah bahan belajar atau interaksi dengan lingkungan.
Berikut adalah faktor-faktor belajar menurut Oemar Hamalik (2009: 32) sebagai berikut.
1.      Faktor kegiatan, penggunaan dan ulangan.
2.      Faktor belajar memerlukan latihan.
3.      Belajar siswa akan berhasil jika siswa merasa berhasil dn mendapatkan kepuasannya.
4.      Siswa yang belajar perlu mengetahui apakah ia berhasil atau gagal dalam belajarnya
5.      Faktor asosiasi besar manfaatnya dalam belajar.
6.      Pengalaman masa lampau (bahan apersepsi) dan pengertian-pengertian yang dimiliki oleh siswa
7.      Besar peranannya dalam proses belajar
8.      Faktor kesiapan belajar
9.      Faktor minat dan usaha
10.  Faktor-faktor fisiologis dan faktor intelegensi.
Sri Anitah (2007: 2.6) mengemukakan ada empat pilar yang perlu diperhatikan dalam belajar yakni learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be.
1.      Learning to know artinya belajar untuk mengetahui. Adapun yang menjadi target dalam belajar adalah adanya proses pemahaman sehingga belajar tersebut dapat mengantarkan siswa untuk mengetahui dan memahami substansi materi yang dipelajarinya. Belajar itu sendiri harus digambarkan sebagai suatu peristiwa yang dapat merangsang rasa ingin tahu siswa sehingga siswa harus merasa bahwa belajar itu sebagai suatu proses yang berkelanjutan.
2.      Learning to do artinya belajar untuk berbuat. Adapun yang menjadi target dalam belajar adalah adanya proses melakukan atau proses berbuat. Dalam hal ini siswa harus mengerjakan, menerapkan, menyelesaikan persoalan, melakukan eksperimen, penyelidikan, penemuan, pengamatan, simulasi, dan sejenisnya.
3.      Learning to live together artinya belajar untuk hidup bersama. Adapun yang menjadi target dalam belajar adalah siswa memiliki kemampuan untuk hidup bersama atau mampu hidup dalam kelompok. Dalam hal ini siswa harus dibekali pengalaman-pengalaman dibekali tanggung jawab dalam kelompok, memahami pendapat orang lain, menerapkan sikap toleransi, memahami asas dalam kelompok, serta memahami dan merasakan kesulitan orang lain.
4.      Learning to be artinya belajar untuk menjadi dirinya sendiri. Dengan kata lain, Wina Sanjaya (2009: 111) mengatakan belajar untuk mengaktualisasikan dirinya sendiri sebagai individu dengan kepribadian yang memiliki tanggung jawab sebagai manusia. Adapun yang menjadi target dalam belajar adalah mengantarkan siswa menjadi individu yang utuh sesuai dengan potensi, bakat, minat, dan kemampuannya. Hasil belajar diperoleh benar-benar bermakna dalam kehidupannya maupun bagi kehidupan orang lain, sehingga dapat mengantarkan siswa menjadi manusia yang mandiri yang mampu mengenal, mengarahkan dan merencanakan dirinya sendiri. Semua itu harus dapat diterapkan pada proses belajar di sekolah.


B.     Gaya Belajar
Berdasarkan Kamus Umum Bahasa Indonesia (1984: 302), gaya berarti ragam (cara, rupa, bentuk , dan sebagainya). Sedangkan belajar adalah suatu kegiatan individu yang berusaha mengetahui sesuatu atau berusaha memperoleh ilmu pengetahuan dapat berupa pengetahuan, perilaku dan keterampilan dengan cara mengolah bahan belajar atau interaksi dengan lingkungan. Jadi gaya belajar adalah ragam (cara, rupa, bentuk , dan sebagainya) yang digunakan dalam suatu kegiatan individu yang berusaha mengetahui sesuatu atau berusaha memperoleh ilmu pengetahuan dapat berupa pengetahuan, perilaku dan keterampilan dengan cara mengolah bahan belajar atau interaksi dengan lingkungan.
Meminjam konsep Neuro Linguistic Programming (NLP)/Neuro Associative Conditioning (NAC) yang dipopulerkan Robbins (Andrias Harefa: 2003: 63) sedikitnya ada tiga gaya belajar yakni sebagai berikut.
1.      Gaya visual
2.      Gaya Auditori
3.      Gaya kinestetik
Dapat dijelaskan sebagai berikut.
1.      Gaya visual yakni pembelajar yang dapat belajar secara lebih efektif jika mempergunakan penglihatan fisiknya. Misalnya dengan membaca, mengamati, menonton video/film, dan segala cara yang melibatkan indra penglihatannya.
2.      Gaya Auditori yakni pembelajar yang lebih cepat belajar dengan cara berbicara dan mendengarkan (termasuk membaca dengan bersuara keras), atau berdialog dengan orang lain (termasuk wawancara),dan cara lain yang intinya melibatkan telinga secara aktif.
3.      Gaya kinestetik yakni pembelajar yang belajar dengan cara menggerakkan tubuhnya, mengalami secara langsung, aktif secara fisik, terjun ke lapangan, mencicipi dan merasakan, dan sebagainya.
Andreas Harefa (2003 : 64)  yang senada dengan Dave Meier  yang memodifikasi gaya belajar model NLP/NAC dengan menambahkan gaya belajar ke empat, yaitu :
4.      Gaya belajar intelektual, yakni belajar dengan berpikir dan membayangkan, menciptakan model mental, merenung, dan sebagainya.
Menurut Honey dan Mumford (Andrias Harefa, 2003: 65) menawarkan empat gaya belajar ,yakni :
1.      Gaya belajar aktivis yang ditandai dengan keterbukaan pikiran dan antusiame yang tinggi.
2.      Gaya belajar pragmatis yang mengutamakan pemecahan masalah secara “membumi”.
3.      Gaya belajar teoritis yang mengutamakan logika dan analisis.
4.      Gaya belajar reflektif yaitu suka memerhatikan, menyimak, dan mengamati untuk direnung-renungkan.

C.    Pendekatan Belajar
Secara harfiah, istilah pendekatan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1980) pendekatan berarti proses, perbuatan, cara mendekati. Pendekatan belajar berarti proses, perbuatan, cara mendekati dalam suatu kegiatan individu yang berusaha mengetahui sesuatu atau berusaha memperoleh ilmu pengetahuan dapat berupa pengetahuan, perilaku dan keterampilan dengan cara mengolah bahan belajar atau interaksi dengan lingkungan.  Menurut SmarterKids (Andrias Harefa, 2003: 66) mengidentifikasi tujuh pendekatan belajar  yaitu :
1.      Pendekatan dengan sentuhan fisik
2.      Pendekatan intrapersonal
3.      Pendekatan interpersonal
4.      Pendekatan bahasa
5.      Pendekatan matematis
6.      Pendekatan musik
7.      Pendekatan visual
Dapat dijelaskan sebagai berikut.
1.      Pendekatan dengan sentuhan fisik
Pada intinya gaya belajar model ini sangat mengandalkan gerak tubuh. Orang atau anak-anak yang suka bermain sambil belajar, menggerakkan anggota tubuhnya, tidak bisa duduk diam adalah mereka memiliki gaya belajar ini. Kelak mereka mungkin lebih baik memilih karier yang dalam praktiknya memerlukan gerak tubuh seperti penari, olahragawan/wati, dan dunia seni rupa dan sebagainya.
2.      Pendekatan intrapersonal
Orang atau anak-anak yang memiliki kecenderungan belajar intrapersonal umumnya lebih suka menyendiri, meski mereka tidak anti sosial. Mereka bisa berhubungan dengan orang lain, hanya saja dalam soal belajar mereka cenderung lebih suka menyendiri. Mereka cenderung memecahkan persoalan secara mandiri, tanpa melibatkan orang lain.
3.      Pendekatan interpersonal
Orang atau anak-anak yang suka berkelompok, memecahkan masalah temannya bersama-sama adalah mereka yang belajar dengan cara ini. Pendekatan belajarnya adalah kooperatif. Kelak anak-anak yang senang belajar dengan cara interpersonal ini dimungkinkan untuk berhasil dalam karier sebagai konsultan, pengajar, politisi, pelatih, pengelola bisnis, dan entertainer.
4.      Pendekatan Bahasa
Orang atau anak-anak yang sangat menyukai kegiatan membaca buku dan menulis menunjukkan cara belajar ini. Dongeng, cerita, penjelasan verbal sangat mereka sukai. Kelak mereka mungkin akan sangat berhasil dalam karier sebagai jurnalis, penyunting, dosen, atau penulis naskah.
5.      Pendekatan Matematis
Orang atau anak-anak yang menyukai segala sesuatu yang memerlukan perhitungan, angka, garis, dan logika, adalah mereka yang belajar dengan cara ini.
6.      Pendekatan Musik
Orang atau anak-anak yang belajar dengan cara ini menunjukkan respon spontan bila mendengarkan suara musik atau nyanyian.Mereka menyukai suasana riang.
7.      Pendekatan Visual
Orang atau anak-anak yang belajar dengan cara ini menyukai tampilan dalam bentuk gambar, tontonan, yang tampak secara visual.
D.    Kecerdasan
1.      Pengertian Kecerdasan
Menurut Encyclopedia Britannica (Andrias harefa, 2003 : 73) mengatakan “kecerdasan adalah kualitas bawaan sejak lahir, sebagai hal yang berbeda dari kemampuan yang diperoleh melalui pengalaman individual”. Sternberg (Carole Wide & Carol Tavris, 2007: 32) mendefinisikan intelegensi sebagai kemampuan dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk mencapai keberhasilan dalam hidup, berdasarkan definisi keberhasilan yang dimiliki seseorang dalam kaitannya dengan konteks sosio-budaya pada lingkungan orang tersebut berada. Berdasarkan Kamus Umum Bahasa Indonesia (1984: 201) didapatkan kecerdasan adalah kesempurnaan perkembangan akal budi (seperti kepandaian, ketajaman pikiran, dan sebagainya). Jadi dapat disimpulkan bahwa kecerdasan adalah kesempurnaan perkembangan akal budi sebagai kualitas bawaan sejak lahir dan menjadi hal yang berbeda dari kemampuan yang diperoleh melalui pengalaman individual untuk mencapai keberhasilan dalam hidup, berdasarkan definisi keberhasilan yang dimiliki seseorang dalam kaitannya dengan konteks sosio-budaya pada lingkungan orang tersebut berada.
2.      Aspek kecerdasan
Menurut P. E. Vermon (Rochman Natawidjaja & H. A. Moein Moesa, 1992), makna dasar konsep intelegensi mengandung tiga aspek penting yaitu.
a.       Intelegensi sebagai kapasitas genetik yakni intelegensi sebagai aspek yang diwariskan secara utuh, dibawa sejak lahir (hereditas).
b.      Intelegensi sebagai perilaku yakni intelegensi sebagai perilaku yang dapat dilihat, dites, atau diobservasi terhadap apa yang dilakukan individu.
c.       Intelegensi sebagai skor tes yakni intelegensi adalah apa yang terukur oleh tes.
3.      Jenis kecerdasan
a.       Teori Triarki Intelegensi
Salah satu teori kognitif yang terkenal adalah teori triarki inteligensi yang diperkenalkan oleh Robert Sternberg pada tahun 1988 (triarki berarti tiga bagian). Sternberg (Carole Wade & Carol Tavris, 2007: 32) mendefinisikan inteligensi sebagai kemampuan dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk rnencapai keberhasilan dalam hidup, berdasarkan definisi keberhasilan yang dimiliki seseorang dalam kaitannya dengan konteks sosio-budaya pada llngkungan orang tersebut berada. Menurut Sternberg (Carole Wade & Carol Tavris, 2007: 32), inteligensi terdiri dari tiga aspek, yakni inteligensi komponensial, inteligensi kreatif, dan lnteligensi praktis.
1)      Inteligensi komponensial
Inteligensi komponensial merujuk pada strategi pemrosesan-informasi yang kita miliki saat kita menggunakan lnteligensi kita untuk memikirkan suatu permasalahan. Komponen-komponen mental ini meliputi mengenali dan mendefinisikan masalah, memilih strategi pemecahan masalah, menguasai dan mengaplikasikan strategi serta mengevaluasi hasil. Komponen-komponen tersebut digunakan dalam berbagai jenis budaya, hanya saja diaplikasikan pada jenis masalah yang berbeda-beda. Suatu budaya mungkin berfokus pada penggunaan komponen-komponen tersebut untuk memecahkan masalah abstrak, sedangkan budaya lainnya akan menggunakan komponen-komponen yang sama untuk memelihara suatu hubungan persahabatan atau kekeluargaan yang baik.
Beberapa penggunaan komponen lnteligensi tidak saja mensyaratkan kemampuan analitis.namun juga kemampuan metakognisi, yakni pengetahuan atau kesadaran terhadap proses kognitif yang kita mlliki serta kemampuan untuk memonitor dan mengontrol proses kognitif tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa metakognisi adalah pengetahuan atau kesadaran mengenai proses kognisi pada diri seseorang. Kemampuan metakognitif rnembantu kita untuk belajar. Siswa yang memiliki kemampuan metakognitif yang lemah gagal menyadari keberadaan kalimat yang sulit pada diktat, dan mereka tidak selalu menyadari bahwa mereka belum mengerti makna dari suatu bacaan. Nelson & Leonesio (Carole Wade & Carol Tavris, 2007: 32) berpandangan bahwa hal tersebut mengakibatkan siswa menghabiskan waktu terlalu sedikit pada materi yang sulit dan menghabiskan waktu terlalu banyak pada materi yang telah mereka pahami. Sebaliknya, Bereiter & Bird (Carole Wade & Carol Tavris, 2007: 32) mengungkapkan bahwa siswa yang memiliki kemampuan metakognitif yang baik akan mengevaluasi pemahaman mereka dengan membaca ulang bacaan yang telah diselesaikan, menelusuri ulang apabila diperlukan dan mempertanyakan apabila ada hal-hal yang belum mereka pahami akibatnya mereka belajar dengan lebih baik.
Hal ini juga berlaku pada arah sebaliknya. jenis inteligensi yang dapat meningkatkan kinerja akademik kita juga dapat membantu kita mengembangkan kernampuan metakognitif. Dunning dkk (Carole Wade & Carol Tavris, 2007: 32) berpendapat bahwa siswa dengan kinerja akademik yang rendah biasanya tidak menyadari bahwa mereka memiliki jumlah pemahaman yang sedikit, mereka justru berpikir sudah memiliki pemahaman yang cukup. Kelemahan yang sama, yang menghalangi mereka meraih hasil baik dalam tes, juga menghalangi mereka dalam menyadari kelemahan mereka. Dalarn sebuah studi, siswa sebuah kelas psikologl memperkirakan nilai ujian mereka dibandingkan nilai rekan-rekan mereka. siswa-siswa yang berada di kuartil terendah melebih-lebihkan kinerja mereka (Dunning dkk dalam Carole Wade & Carol Tavris, 2007: 32). Sebaliknya, siswa yang memiliki kinerja akademik yang baik umumnya akan bersikap realistis, bahkan sering kali mereka merendahkan kinerja mereka sendiri dibandingkan kinerja siswa-siswa lainnya.
2)      Inteligensi kreatif atau experiential intelligence
Inteligensi kreatif atau inteligensi experiental merujuk pada kreativitas kita dalam menggunakan kemampuan yang telah kita miliki dalam situasi yang baru. Mereka yang memiliki experiential intelligence mampu beradaptasi dengan situasi-situasi yang baru dan mampu membuat tugas-tugas berjalan secara otomatis. Orang-orang yang tidak memiliki experiential intelligence akan berkinerja baik hanya apabila mereka berada dalam situasi yang tidak menuntut dinamika yang tinggi. Sebagai contoh, seorang mahasiswa yang memiliki prestasi akademik yang baik belum tentu berhasil dalam pekerjaannya setelah lulus, karena saat sekolah tenggat waktu untuk tugas-tugas ditentukan oleh sekolah. sedangkan saat bekerja siswa tersebut harus menentukan sendiri tenggat waktu untuk pekerjaan-pekerjaannya. Selain itu, siswa tersebut tidak langsung menerima masukan untuk pekerjaan yang telah diselesaikan. Hal ini berbeda dengan saat sekolah, dimana siswa tersebut langsung menerima masukan untuk tugas-tugas yang telah diselesaikan.
3)      Inteligensi kontekstual atau inteligensi praktis
Inteligensi kontekstual atau inteligensi praktis merujuk pada penerapan praktis dari inteligensi, yang mensyaratkan kita memahami konteks situasi yang berbeda-beda. lnteligensi kontekstual yang baik meningkatkan kemampuan adaptasi kita terhadap lingkungan (anda berada di daerah yang rawan kriminalitas sehingga anda bersikap lebih siaga). lnteligensi kontekstual membantu kita menyadari kapan kita harus mengubah lingkungan (anda merencanakan untuk menjadi guru, namun  kemudian rnenyadari bahwa anda tidak menyukai bekerja bersama anak kecil sehingga anda memutuskan menjadi akuntan). Selain itu, intelegensi kontekstual membantu kita memperbaiki situasi (kehidupan pernikahan anda tidak berjalan dengan baik sehingga anda dan pasangan anda memutuskan untuk menjalani konseling pernikahan).
Inteligensi kontekstual membantu kita memiliki pengetahuan turunan (tacit knowledge), suatu strategi yang bersifat praktis dan berorientasi pada tindakan untuk mencapai suatu tujuan, yang tidak diajarkan dalam pendidikan formal atau diajarkan secara verbal, dan diperoleh melalui observasi terhadap orang lain. Menurut Sternberg (Carole Wade & Carol Tavris, 2007: 32) mengemukakan bahwa penelitian yang dilakukan pada beberapa professor, manajer perusahaan, dan orang-orang dari divisi pemasaran membuktikan bahwa pengetahuan turunan dan inteligensi praktis merupakan salah satu alat yang dapat memprediksi dengan akurat efektivitas saat bekerja. Pada mahasiswa, pengetahuan turunan mengenai bagaimana menjadi mahasiswa yang baik memiliki tingkat akurasi yang sama dengan ujian masuk universitas dalam memprediksikan keberhasilan akademik seseorang mahasiswa (Sternberg & Wagner dalam Carole Wade & Carol Tavris, 2007: 32).
b.      Kecerdasan Majemuk (multiple intelligence)
Sekitar tahun 70-an hingga pertengahan tahun 80-an, Howard Gardner dan tim peneliti dari Universitas Harvard mempopulerkan apa yang disebut multiple intelligence atau kecerdasan majemuk. Dalam Frames of mind (1983), Gardner Mengidentifikasi tujuh jenis kecerdasan. Kemudian dalam buku Intelligence Reframed (1999) ia menambahkan jenis kecerdasan ke delapan mencakup (Andrias harefa, 2003: 76).
1)      Kecerdasan Verbal-Linguistik
 Menurut Lucy Lidiawati Santioso (2010: 70 ) kecerdasan verbal-linguistik merupakan kecerdasan dalam menggunakan bahasa atau kata-kata secara efektif, baik secara lisan maupun tulisan. Kecerdasan verbal-linguistik terutama berhubungan dengan bahasa, aktivitas membaca dan menulis. Kita menyaksikan jenis kecerdasan ini pada penulis, penyair, dramawan, ahli pidato,dan sebagainya.
Untuk rnerangsang kecerdasan berbahasa verbal, Andi Yudha Asfandiyar (2009: 42) menyarankan sebaiknya kita sebagai orang tua atau guru sebagai berikut.
a)      sering mengajak anak bercakap-cakap.
b)      sering membacakan cerita/dongeng.
c)      sering mengajarkan nyanyian/Iagu.
Pandai berbahasa bukan nanya berarti menguasai banyak bahasa, melainkan si anak mempunyai kemampuan dalam mengolah bahasa. HaI ini penting untuk mengajarkan bahasa ibu terlebih dahulu karena hal itu akan rnendorong logika berpikir si anak. Tidak semua anak cerdas dalam berbahasa. Seandainya anak belum siap menerima multibahasa, kita jangan memberikannya dahulu. Bila guru dan orangtua menjejal anak dengan beragam bahasa, hasilnya anak akan mengalami kebingungan berbahasa. Ingat! Stimulus dari Iingkungannya akan memengaruhi kemampuan otak si anak dan pada akhirnya akan bermuara pada keterampilan anak dalam mengolah kata-kata dan berbicara. Biasanya, kurangnya kemampuan berbahasa pada anak terjadi apabila sejak kecil anak kurang diajak berkomunikasi.
2)      Kecerdasan Matematis-Logis
Menurut Lucy Lidiawati Santioso (2010: 75) kecerdasan matematis-logis merupakan kecerdasan dalam menggunakan angka-angka dan penalaran (logika). Kecerdasan matematis-logis diasosiasikan dengan kemampuan berpikir ilmiah, logis, dan runtut, sebagaimana didemonstrasikan antara lain oleh mereka yang menekuni profesi sebagai ilmuwan, akuntan, banker, ahli hokum, ahli matematika, dan sebagainya.
Beberapa cara untuk membantu anak mengembangkan kecerdasan matematika, antara Iain:
a)      Perbanyak koleksi buku-buku referensi mengenai konsep matematika
b)      Buat permainan seru dengan melibatkan murid-murid dalam Iomba-lomba, seperti berhitung dan permainan asyik Iainnya.
c)      Manfaatkan berbagai benda yang ada di sekitar kita sebagai media pengajaran. Misalnya, saat mengajarkan bangun ruang atau datar dan Iingkaran, mintalah anak untuk mengamati pola dari beberapa bendera negara dari buku-buku, bentuk atap rumah, dan sebagainya.
3)      Kecerdasan Visual-Spasial
Menurut Lucy Lidiawati Santioso (2010: 79) kecerdasan visual-spasial merupakan kecerdasan dalam berpikir baik secara dua dimensi maupun tiga dimensi. Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengembangkan kecerdasan ini pada anak yakni kenalkan arah, bemain puzzle dan balok, belajar bentuk, dan belajar mengamati suatu gambar secara detail yang ditanyakan secara detail pula, dan sebagainya.
4)      Kecerdasan Kinestetik-Jasmani
Menurut Lucy Lidiawati Santioso (2010: 88) kecerdasan kinestetik-jasmani merupakan menggunakan tubuh atau bergerak dengan ketepatan (presisi), bergerak untuk mengekspresikan ide-ide, dan perasaan emosi tertentu, serta kemampuan untuk menggunakan keterampilan tubuh. Kecerdasan kinestetik meliputi kemampuan menari, pantomime, olahraga, menggunakan bahasa tubuh, bermain peran, dan menggunakan tangan untuk menciptakan atau membangun sesuatu.
Menurut Andi Yudha Asfandiyar (2009: 46) ada tiga pusat kemampuan kognitif dalam kecerdasan kinestetik/gerak yang merupakan komponen penting dari gerak tubuh, yakni.
a)      Logika motorik merupakan kemampuan saraf otot untuk bergerak.
b)      Memori kinestetik merupakan kemampuan anak mengatur batas dari gerakan melalui kontruksi otot, gerakan, dan posisi dalam ruang.
c)      Kesadaran kinestetik merupakan kemampuan indra gerak anak untuk mengikuti perintah dan petunjuk.
Beberapa kegiatan yang bisa dilakukan untuk rnengembangkan potensi anak yang bergolong cerdas gerak, antara Iain:
a)      Menyediakan ruang yang cukup luas agar anak bisa menyentuh apa pun yang meraka lihat. Ajak anak ke tempat-tempat yang memicu eksplorasinya dalam menyentuh.
b)      Memberikan anak ruang yang cukup untuk bergerak sehingga anak cerdas gerak belajar berinteraksi dengan ruang di sekitarnya.
c)      Minta anak untuk berpartisipasi dalam aktivitas yang berorientasi pada gerakan seperti pementasan drama dan menari dalam kegiatan sekolah, senam, baIet, dan olahraga. beberapa aktivitas menawarkan anak belajar melalui interaksi spasial dan gerakan tubuh yang bermanfaat untuk membangun kepercayaan dirinya.
d)     Melakukan beberapa kegiatan yang menunjang kemampuan gerak motorik anak seperti memasukkan manik-manik ke benang, menggunting kertas, dan kegiatan kerajinan tangan Iainnya.
e)      Bermain petak umpet, kucing-kucingan, Iornpat tali, dan sebagainya.
5)      Kecerdasan Musikal-Ritmik
Menurut Lucy Lidiawati Santioso (2010: 84) kecerdasan musikal-ritmik adalah kemampuan untuk menikmati, mengamati, membedakan, mengarang, membentuk, dan mengekspresikan bentuk-bentuk musik. Kecerdasan ini meliputi kepekaan terhadap ritme, melodi, dan ritme dari musik yang didengar. Tipe kecerdasan ini berkembang sangat baik pada musisi, penyanyi dan komposer. Andi Yudha Asfandiyar (2009: 55) mengatakan musik tidak hanya berkaitan dengan perkembangan kognitif, tapi juga mengembangkan kecakapan sikap, tingkah laku , dan disiplin anak.
Beberapa kegiatan yang bisa dilakukan untuk menggali kecerdasan musik anak antara lain.
a)      Kenalkan anak lewat berbagai jenis alat music meskipun hanya lewat gambar.
b)      Menyediakan alat-alat sederhana misalnya gitar, pianika, suling, dan lain sebagainya.
c)      Mengajarkan not balok lewat lagu-lagu sederhana.
d)     Untuk melatih kepekaan nada, anak juga dapat diperdengarkan lagu-lagu dengan irama yang berbeda saat dia makan, menggambar, bermain dan dalam melakukan aktivitas lainnya.
e)      Anak-anak cenderung menyukai lagu-lagu yang riang. Bernyanyi bisa dikombinasikan dengan kegiatan bermain lainnya seperti permainan ular naga panjangnya.
f)       Ajak anak untuk menampilkan kebolehan mereka dalam acara-acara misalnya acara sekolah.
6)      Kecerdasan Intrapersonal
Menurut Lucy Lidiawati Santioso (2010: 100) kecerdasan intrapersonal merupakan kecerdasan dalam mengerti dan memahami diri sendiri. Kecerdasan ini meliputi kemampuan untuk mereflesikan dan menganalisis diri, mengenal baik kekuatan maupun kelemahan yang dimiliki, menyadari perasaan, harapan, keinginan, dan tujuan yang hendak dicapai, serta mampu untuk memahami peran dirinya dalam berhubungan dengan orang lain.
7)      Kecerdasan Interpersonal
Menurut Lucy Lidiawati Santioso (2010: 97) kecerdasan interpersonal adalah suatu kemampuan untuk masuk ke dalam diri orang lain, mengerti dunia orang lain, mengerti pandangan, sikap, kepribadian, dan karakter orang lain. Termasuk di dalamnya adalah kepekaan terhadap ekspresi-ekspresi wajah, suara, dan sosok postur (gesture) dan kemampuan untuk membedakan berbagai tanda interpersonal. Inti dari kecerdasan ini adalah kemampuan untuk memahami dan berinteraksi dengan orang lain sehingga mudah bersosialisasi dengan lingkungan di sekelilingnya. Arif Rohman (2009: 140) mengatakan kecerdasan semacam ini juga sering disebut sebagai kecerdasan sosial (social Intelligence). Menurut Andi Yudha Asfandiyar (2009: 46) ada beberapa komponen yang bisa diterapkan dalam kegiatan keseharian yang bisa membantu anak mengembangkan kemampuan interpersonalnya antara lain.
a)      Komunikasi dengan anak.
b)      Mengenalkan anak pada etika, nilai dan kebiasaan yang berlaku pada masyarakatnya,
c)      Ajarkan anak untuk memiliki rasa kasih sayang pada sesamanya.
d)     Ajari anak untuk tidak bersikap pelit/berbagi dengan kerelaan.
e)      Kenalilah anak untuk mengenali barang miliknya dan barang milik orang lain.
f)       Ajari anak untuk peduli/perhatian pada sesamanya.
g)      Ajari anak untuk merasakan perasaan orang lain.
h)      Ajari anak untuk memilih/melakukan pemilihan sesuatu yang benar-benar dia sukai secara asertif (tegas), bukan karena pengaruh atau tekanan dari orang lain namun mampu mengubah pilihan tersebut jika menyalahi faedah.
i)        Ajarkan kepada anak bahwa kehidupan tidak terlepas dari tanggung jawab dan komitmen.
j)        Ajarkan anak bagaimana mengatasi masalah yang dihadapinya.
8)      Kecerdasan Naturalis
Menurut Lucy Lidiawati Santioso (2010: 93) kecerdasan naturalis merupakan kecerdasan dalam memahami alam yang meliputi kemampuan untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasi perbedaan maupun persamaan ciri-ciri diantara spesies, baik flora maupun fauna. Andi Yudha Asfandiyar (2009: 68) mengemukakan beberapa cara yang bisa dipakai untuk mengembangkan kecerdasan naturalis anak antara lain:
a)      Mengajak anak  untuk menanam dan merawat sendiri tanaman mereka.
b)      Ajak anak untuk memelihara, memberi makan dan memerhatikan pertumbuhan hewan piaraan.
c)      Sekali-kali ajak anak ke kebun binatang atau pertanian, museum, planetarium, dan wahana rekreasi edukatif lainnya.
c.       Kecerdasan Emosional/emotional intelligence
Istilah kecerdasan emosional pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John Meyer dari University Of New Hampshire. Salovey dan Meyer (Aunurrahman, 2011: 87) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan dan emosi baik pada diri sendiri maupun orang lain, memilah-milah semuanya, dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan. Menurut Goleman (Herra Lestari Mikarsa, 2008: 3.49) emotional intelligence/kecerdasan emosional sebagai kapasitas untuk mengenal perasaan kita sendiri dan orang lain, untuk memotivasi diri kita, dan untuk mengatur emosi dalam diri kita dan dalam hubungan kita dengan orang lain. Jadi dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional adalah himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan dan emosi sebagai kapasitas untuk mengenal perasaan kita sendiri dan orang lain, untuk memotivasi diri kita, dan untuk mengatur emosi dalam diri kita dan dalam hubungan kita dengan orang lain. Daniel Goleman (Howard S. Friedman & Miriam W. Schustack, 2006: 268) mengemukakan bahwa intelegensi emosional terdiri dari lima komponen yakni.
1.      Mampu menyadari diri sendiri.
2.      Mampu mengontrol amarah dan kecemasan.
3.      Tekun dan optimis dalam menghadapi hambatan.
4.      Mampu berempati.
5.      Mampu berinteraksi dengan baik dengan orang lain.
Aunurrahman (2011: 85) mengemukakan beberapa bentuk kualitas emosional yang dinilai penting bagi keberhasilan yaitu.
1.      Empati.
2.      Mengungkapkan dan memahami perasaan.
3.      Mengendalikan amarah.
4.      Kemandirian.
5.      Kemampuan menyesuaikan diri.
6.      Disukai.
7.      Kemampuan memecahkan masalah pribadi.
8.      Ketekunan.
9.      Kesetiakawanan.
10.  Keramahan.
11.  Sikap hormat.
d.      Kecerdasan Eksistensial
Howard (Yatim Riyanto, 2009) berpendapat bahwa kecerdasan eksistensial adalah kecerdasan yang berhubungan dengan kapasitas dan kemampuan. Kecerdasan ini masih dalam masa penelitian.
e.       Kecerdasan Mengatasi Kemalangan/Adversity Questient
Kecerdasan mengatasi kemalangan/Adversity Questient atau AQ adalah kecerdasan mengubah hambatan menjadi peluang (menurut Paul G. Stoltz dalam Andrias Harefa, 2003: 83). Dalam bukunya adversity Quotient, Paul G. Stoltz (2000: 9) mengungkapkan tiga bentuk adversity quotient yakni sebagai berikut.
1.      Adversity quotient atau kecerdasan mengubah hambatan menjadi peluang adalah suatu kerangka konnseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan.
2.      Adversity quotient atau kecerdasan mengubah hambatan menjadi peluang adalah ukuran untuk mengetahui respon terhadap kesulitan.
3.      Adversity quotient atau kecerdasan mengubah hambatan menjadi peluang adalah serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respon terhadap kesulitan, yang akan berakibat memperbaiki efektivitas pribadi dan professional secara keseluruhan.
f.       Kecerdasan Spritual
Pada dasarnya sejak lahir manusia memiliki naluri ketuhanan, yaitu naluri adanya kekuasaan transendental di luar dirinya yang diyakininya bisa memberikan kekuatan, ketenangan, semangat, bahkan rezeki dan hukuman. Zohar dan Marshall (Andrias Harefa, 2003: 85)  menegaskan bahwa kecerdasan Spritual adalah kecerdasan yang berada jauh di dalam kita, di dalam jiwa kita, yang terhubung dengan kearifan, melampaui pikiran sadar, suatu kecerdasan yang tidak saja membuat kita mampu mengenali nilai-nilai yang sudah ada (existing values), tetapi juga memampukan kita untuk menemukan nilai-nilai baru secara kreatif. Kenalkan tuhan pada anak-anak sedini mungkin agar dia memiliki kekayaan sense of moral yang penting untuk menjaga kesehatan mental sepanjang hidupnya.
Selain kecerdasan akademis (IQ), kecerdasan transendental/spiritual (SQ) juga mutlak diperlukan dalam tumbuh kembang seorang anak. Pendidikan SQ dapat menumbuh suburkan self awareness dalam diri anak. Pengembangan SQ pada anak bermanfaat untuk melihat kembali dalam diri anak itu, apakah sudah ada perubahan menjadi lebih baik, mencari hambatan-hambatan dalam diri sendiri sebagai cara mencari jalan keluar, serta belajar komitmen dan disiplin.
Menggali kecerdasan spiritual pada anak, sekaligus mendekatkan anak pada tuhan bisa dimulai antara lain dengan cara.
1)      Mengajarkan doa-doa sehari-hari.
2)      Mengajarkan kepada anak untuk berdoa sebelum melakukan sesuatu dan bersyukur pada akhirnya melakukan sesuatu tersebut.
3)      Mengajarkan tata cara ibadah sehari-hari.
4)      Mengajarkan adab sopan santun terhadap orang lain baik yang lebih tua, sebaya maupun yang lebih muda.

E.     Hubungan gaya belajar, pendekatan belajar, dan kecerdasan dengan hasil belajar yang diharapkan
Pada hakekatnya, setiap manusia memiliki kecerdasan yang berbeda-beda, gaya belajar yang berbeda-beda, pendekatan yang berbeda-beda dan lain sebagainya. Perbedaan ini terkadang menimbulkan perbedaan kemampuan dalam menjalani kehidupan. Perbedaan ini memunculkan tingkat keberhasilan melawan ketidakberhasilan, bisa melawan tidak bisa, mampu melawan tidak mampu, dan lain-lain di kehidupan ini, tidak terkecuali dalam hal belajar.
Antara gaya belajar, pendekatan belajar, dan kecerdasan seseorang memiliki keterhubungan yang erat. Dalam hal proses belajar, antara gaya belajar, pendekatan belajar, dan kecerdasan seseorang haruslah terkondisikan sesuai dengan karakteristik orang tersebut dalam belajar. Karena jika tidak, hasil belajar yang diharapkan menjadi tidak optimal dan maksimal. Sebagai contoh, seseorang yang memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi dan ia memiliki gaya belajar kinestetik yang proses belajarnya dikondisikan dengan pendekatan belajar audio, tentu tidak akan sama hasil belajarnya dengan hasil belajar pada seseorang yang memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi dan ia memiliki gaya belajar kinestetik proses belajarnya dikondisikan menggunakan pendekatan dengan sentuhan fisik oleh orang tua/guru pengajarnya. Contoh lainnya seseorang yang kecerdasannya kurang namun dikondisikan dengan gaya belajar dan pendekatan belajar yang sesuai dirinya, dapat saja lebih baik daripada seseorang yang memiliki kecerdasan tinggi namun terkondisikan dengan gaya belajar dan/atau pendekatan belajar yang tidak sesuai dengan gaya belajar dan/atau pendekatan belajar pada seseorang tersebut.
Agar perkembangan seseorang menjadi lebih optimal dalam hasil belajarnya maka hal-hal yang dimiliki berkenaan dengan individu/seseorang tersebut perlu dioptimalkan dengan cara yakni.
1.      Melaksanakan proses belajar yang diarahkan sesuai dengan bakat dan minat anak.
2.      Menggunakan berbagai strategi, pendekatan, metode dan teknik, dan media pembelajaran dengan seefektif dan seefisien mungkin.
Lucy Lidiawati Santioso (2010: 35) mengungkapkan beberapa hal yang perlu dilakukan orang tua dan guru untuk mengembangkan bakat dan minat anak  yaitu :
1.      Sejak usia dini, cermati berbagai kelebihan, keterampilan, dan kemampuan yang tampak menonjol pada anak.
2.      Bantu anak dalam meyakini dan fokus pada kelebihan dirinya.
3.      Kembangkan konsep diri positif pada anak.
4.      Perkaya anak dengan berbagai wawasan, pengetahuan, serta pengalaman di berbagai bidang.
5.      Usahakan berbagai cara untuk meningkatkan minat anak untuk belajar dan menekuni bidang-bidang yang menjadi kelebihannya.
6.      Tingkatkan motivasi anak untuk mengembangkan dan melatih kemampuannya.
7.      Stimulasi anak untuk meluaskan kemampuannya dari satu bakat ke bakat yang lain.
8.      Berikan penghargaan dan pujian untuk setiap usaha yang dilakukan anak.
9.      Sediakan fasilitas atau sarana untuk mengembangkan bakat anak.
10.  Dukung anak untuk mengatasi berbagai kesulitan dan hambatan dalam mengembangkan bakatnya.
11.  Jalin hubungan baik antara orang tua dan guru dengan anak.
Dengan berusaha menggali dan mengembangkan kemampuan masing-masing pada anak dengan juga mempertimbangkan gaya dan pendekatan belajar serta karakteristik yang bervariasi di dalam proses belajar, setidaknya kita telah membantu diri mereka untuk memilih jalan menuju kesuksesan masing-masing. Namun ingat, jangan memaksakan mereka untuk melakukan apa yang tidak mereka sukai. Kita hanya memfasilitasi agar kemampuan/potensi mereka bisa terakomodasi dengan baik sehingga mereka mampu menjelma menjadi generasi-generasi unggul sesuai dengan harapan/tujuan pendidikan nasional tersebut.


DAFTAR PUSTAKA

Asfandiyar, Andi Yudha. 2009. Kenapa Harus Guru Kreatif. Bandung: PT Mizan Pustaka.

Carole Wade & Carol Tavris. 2007. Psikologi. Jakarta: Erlangga.

Depdikbud. 1980. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Dimyati & Mudjiono. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Friedman, Howard S & Schustack, Miriam W. 2006. Kepribadian. Jakarta: Erlangga

Hamalik, Oemar. 2009. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.

Harefa, Andrias. 2003. Mengasah Paradigma Pembelajar. (Cetakan ke-2). Yogyakarta: Gradien.

Lestari Mikarsa, Hera, dkk. 2008. Pendidikan Anak di SD. (Cetakan ke-11). Jakarta: Universitas Terbuka.

Lidiawati Santioso, Lucy. 2010. Mendidik Sesuai Dengan Minat & Bakat Anak. (Cetakan ke-2). Jakarta: PT Tangga Pustaka.

Natawidjaja, Rochman & Moesa, H. A. Moein. 1992. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.

Poerwadarminta, W. J. S. 1984. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka.

Riyanto, Yatim. 2009. Paradigma Baru Pembelajaran. Jakarta: Prenada Media Group.

Rohman, Arif. 2009. Memahami Pendidikan & Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: LaksBang Mediatama.

Stoltz, Paul G. 2000. Adversity Quotient Mengubah Hambatan Menjadi Peluang. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

Tim Redaksi Kamus Bahasa Indonesia. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.

W, Sri Anitah, dkk. 2007. Strategi Pembelajaran. Jakarta: Universitas Terbuka Departemen Pendidikan nasional.

dapat di download di http://www.4shared.com/file/18Df7dLm/Gaya_Belajar.html